Tradisi menyuci pusaka leluhur Kerajaan Galuh, hingga saat ini masih terus dilestarikan. Kali ini tradisi mencuci benda-benda pusaka yang biasa dilakukan di Bulan Maulud ini dikenal sebagai “Prosesi Jamasan” yang digelar pada hari Rabu 13 Agustus 2019 berlangsung di Pendopo Selagangga, Jalan Akhmad Dahlan Ciamis.
Prosesi penyucian benda pusaka ini, kali ini dikemas lebih sederhana, Sebelumnya ritus penyucian pusaka yang masih dipegang oleh anak keturunan Kerajaan Galuh, berlangsung di Situs Jambansari, Kompleks makam Bupati Galuh ke-16 Raden Adipati Aria (RAA) Koesoemandiningrat atau dikenal dengan sebutan Kanjeng Prabu (1839 -1886).
Meski dikemas lebih sederhana, akan tetapi hal tersebut tidak sampai mengurangi kekhidmatkan, serta makna penyucian pusaka yang selalu digelar pada bulan Rabiul Awal. Seluruh kerabat keturunan Raja Galuh mengikuti rangkaian prosesi jamasan, mulai dari membawa pusaka ke Jamansari hingga kembali ke Pendopo Selagangga serta dilanjutkan dengan ritus lainnya.
Setelah kembali dibawa ke Pendopo Selagangga, selanjutnya dilakukan penyucian berbagai pusaka seperti keris beluk, pedang, tombak, hingga kujang. Air untuk mencuci pusaka juga tidak sembarangan, karena diambil dari tujuh sumber mata air yakni Cikahuripan, Situs Karangkamulyan, Kabuyutan Cikawali (Astana Gede), Kabuyutan Galuh Salawe Cimaragas, Kabuyutan Garatengah Cineam, Kabuyutan Imbanagara, Kabuyutan Cibatu Jambansari, dan Kabuyutan Ciputrapinggan Pangandaran.
Sebelum digunakan untuk mencuci, air dari tujuh sumber mata air yang ditaburi kembang setaman (bunga aneka warna) dicampur menjadi satu. Petugas yang ditunjuk khusus dengan sangat teliti menyuci pusaka. Satu per satu pusaka , digosok dengan jeruk nipis selanjutnya disiram air.
Pusaka yang telah dicuci dan dilap,kemudian diberi minyak khusus serta dikeringkan dengan asap dupa hingga aroma wanginya menyebar lokasi jamasan. Setelah itu, pusaka dimasukkan ke dalam warangka, selanjutnya dikembalikan ke Museum Selagangga.
“Sebenarnya banyak sekali pusaka peninggalan leluhur, akan tetapi untuk jamasannya tidak sekaligus. Kali ini ada tujuh pusaka utama, selain itu juga puluhan jenis lainnya. Jamasan ini untuk merawat, menjaga agar benda pusaka bagus, tidak hilang dimakan usia,” tutur Ketua Yayasan RAA Koesoemadiningrat yang juga Raja Galuh RD Hanif Radinal.
Dia mengatakan, jamasan tidak hanya dilihat secara tersurat yakni mencuci fisik pusaka peninggalan yang memiliki nilai sejarah tinggi. Akan tetapi juga makna yang tersirat, yakni mencuci atau membersihkan diri.
“Jadi tidak hanya dilihat secara fisik saja menuci pusaka, akan tetapi sebenarnya ada makna lain yang tersirat yakni membersihkan diri dari pengaruh tidak baik. Jamasan kali ini juga sengaja dikemas lebih sederhana, salah satu pertimbangannya kenapa tidak di Jambansari, karena cuaca sangat panas,” jelasnya.
Hanif mengatakan jamasan tersebut tidak hanya bersifat terbuka, akan tetapi juga menerima jamas pusaka milik warga. Kegiatan ini bersamaan dengan jamasan pusaka yang ada di museum Selagangga.
“Pusaka dari luar juga boleh. Ini adalah hajat bersama, awalnya memang hanya pusaka milik kanjeng Prabu, akan tetapi saat ini juga terbuka, untuk masyarakat yang hendak mencuci pusaka,” katanya.
Lebih lanjut dia juga berharap kegiatan jamasan pusaka peninggalan Kerajaan Galuh, dapat menjadi agenda wisata budaya. Setidaknya hal tersebut, dapat menarik minta generasi muda sehingga ikut melestarikan warisan budaya yang memiliki nilai tinggi . “Sekaligus juga memererat tali silaturahmi anak keturunan Kerajaan Galuh dengan masyarakat,” tutur Hanif Radinal.(Yogi TN/Nurhandoko Wiyoso)**