TAK pernah sedikit pun terlintas dalam benak masa kecil hingga remaja Neni Setiawati, MPd (40), bakal berkecimpung di dunia pendidikan seperti sekarang. Jabatan Kepala SDN Panglayungan, Kompleks Bumi Resik Panglayungan, Kelurahan Panglayungan, Kecamatan Cipedes, Kota Tasikmalaya, yang ia emban kini, dipercaya merupakan perjalanan hidup dan bukti sahih hadis Nabi Muhammad SAW “Keridoan Allah itu di dalam keridoan orangtua”.
Neni yang berasal dari keluarga sederhana di Kampung Cinangsi, Desa Sirnajaya, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut, pada 25 Agustus 1979, merupakan anak bungsu dari 15 bersaudara, tiga diantaranya meninggal. Ayahnya, Ya’kub, berprofesi pedagang di pasar. Ketika ayahnya meninggal, maka ibunya, Ny. Yuyu Karwati (83), menggantikan profesi ayahnya berjuang membesarkan Neni dan saudara-saudaranya.
Mungkin karena dari keluarga pedagang itulah, naluri bisnis Neni muncul. Pada tahun 1997, saat duduk di bangku SMAN 1 Garut ia sudah aktif menjadi pengecer Majalah Annida, majalah bulanan terbitan Jakarta yang menyasar segmentasi pembaca remaja Muslimah. Biasanya, ia membawa sekitar 20 eksemplar majalah tersebut dari agen yang merangkap toko busana muslim di Garut untuk diedarkan ke kelas-kelas. Aktivitasnya sebagai rohis sekolah, membuat ia cukup dikenal di kalangan temen-temannya.
“Sore sepulang sekolah saya ke agen majalah tersebut, pagi keesokan harinya atau saat istirahat saya edarkan ke teman-teman. Selain bisa mendapat majalah gratisan, keuntungannya lumayan dan bila bisa menjual beberapa puluh eksemplar ada fee khusus juga,” kata Neni saat berbincang di ruang tamu sekolahnya.
Hal lainnya mengapa ia berjualan majalah di sekolah karena kegemarannya membaca. Layaknya remaja-remaja Muslimah saat itu, ia juga hobi membaca novel seperti karya Asma Nadia, Teye Liye, dan Habiburrahman Al Shirazy. Selain hobi membaca ia juga gemar traveling, dua hal yang membuatnya bercita-cita menjadi jurnalis. “Di mata saya saat itu, selain bisa berjuang membela kebenaran dan memiliki idealisme, betapa enaknya jadi jurnalis. Saya bisa bekerja sekaligus jalan-jalan dengan dibiayai media saya bekerja,” tuturnya, seraya menambahkan bersama seorang teman perempuannya di sekolah dirinya pernah datang langsung ke agen besar majalah tersebut sekaligus toko busana muslim di Jakarta.
Sebab itulah, ketika lulus SMA pada medio 1999, ia diterima di Universitas Islam Bandung Fakultas Ilmu Komunikasi. Neni sengaja mengambil jurusan itu karena saat memasuki tingkat III akan mengambil jurusan jurnalistik. Cita-citanya menjadi jurnalis seolah kian dekat ketika ia mulai mempelajari berbagai hal tentang itu. Misalnya teknik membuat berita, meliput berita, hingga mencetak foto di laboratorium kampus. “Saya pernah diberi tugas oleh dosen untuk membuat berita hasil liputan mudik Lebaran, mencetak foto di kamar gelap, lalu hasilnya dianalisa,” ucap penggemar batagor Mang Danu yang biasa mangkal di halaman sekolah tersebut.
Saat sedang asyik-asyiknya menekuni bidang kewartawanan, ibunya justru kurang mendukung keinginan Neni menjadi jurnalis. Maklum ketika menjelang dan setelah Era Reformasi, pemberitaan media massa Tanah Air marak dengan aksi kerusuhan, termasuk Tragedi Mei 1998. “Ibu saya tak tega dan khawatir karena wartawan kan tugasnya meliput berita, sedangkan saya perempuan. Di mata ibu, meliput peristiwa kerusuhan dan tugas-tugas wartawan lainnya, bagi perempuan sangat berisiko,” ucap ibu dari dua anak, Syahida Salsabila (14) dan Muhammad Zidan Alghifari (12), hasil pernikahan dengan Yana Kusdiana (40) itu.
Sebagai anak yang taat kepada orangtua, ucapan ibunya tersebut ia renungkan dalam-dalam. Akhirnya, kuliahnya di Unisba hanya sekitar dua tahun dan ia memutuskan untuk cuti. Namun hal itu tak lama, ia kemudian memilih kuliah S1 di PGSD Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Tasikmalaya. “Kali ini ibu terlihat sangat senang dengan jurusan kuliah yang saya ambil,” kata perempuan berkacamata yang kini berdomisili di Perumahan Bumi Asri Dirgantara, Leuwidahu, Kelurahan Parakan Nyasag, Kecamatan Indhiang, Kota Tasikmalaya.
Beberapa saat setelah lulus kuliah, Neni pun menjadi guru di SDN Nagarasari 6 (kini SDN Mancogeh). Setelah delapan tahun menjadi guru, ia dipanggil mengikuti seleksi kepala SD di Bandung. Untuk mengikuti seleksi tersebut pengalaman masa kerja Neni sebagai PNS guru pas-pasan yakni delapan tahun dengan golongan IIIc. Namun justru ia lulus yang dilanjutkan mengikuti diklat di Bandung. Pada tahun 2015, dalam usia 36 tahun ia menjadi kepala sekolah di SDN 2 Bojong Kecamatan Cipedes. Mulai 19 April 2016 menjabat Kepala SDN Panglayungan hingga sekarang.
Lantas bagaimana kesannya setelah sekian lama bergelut dengan dunia pendidikan? Neni mengatakan sangat senang. Ia merasa nyaman dan menikmati profesi ini karena langkah yang dijalani dilandasi rido orangtua. Ia pun beruntung karena berkat ibunyalah ia menjadi guru. “Menjadi guru itu luar biasa, setiap hari belajar karena setiap hari bertemu anak-anak (siswa). Bagaimana metode yang tepat saat menghadapi anak-anak agar kami diterima mereka. Hal penting lainnya, ibu saya meridoi dan di usianya yang sepuh sangat senang melihat profesi saya sekarang,” tutur perempuan yang menempuh pendidikan S2 di UPI Bandung itu. (Arief Farihan Kamil/”KP”)***
Terinspirasi sekali