GARUT, (KP-ONLINE).-Guru honorer di Garut galau menyusul keluarnya Permendikbud nomor 8 tahun 2020 tentang petunjuk teknis (juknis) Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Mereka pun sangat mendukung rencana aksi konsolidasi nasional, Kamis (20/2/2020) mendatang.
“Jika aturan itu benar-benar dilaksanakan, mau makan apa keluarga saya, mau dikenakan saya yang sudah mengabdi belasan tahun? Kemarin saya ikut tes CPNS juga gagal, karena pikiran tak fokus. Saya minta Permendikbud nomor 8 tahun 2020 itu dikaji lagi,” kata Prihatin (nama samaran), guru honorer di Garut.
Sementara itu, Ketua PGRI Garut, Mahdar Suhendar, menilai Permendikbud itu sangat melukai hati guru honorer. Artinya ketika guru honorer tersebut tidak memiliki NUPTK, maka dana BOS tidak bisa digunakan untuk membayar guru honorer tersebut. Sedangkan saat ini, kata Mahdar, guru honorer yang punya NUPTK masih sedikit, untuk mendapatkannya pun sangat sulit. Meski gaji untuk guru honorer bisa naik lima puluh persen dari BOS berdasarkan Permendikbud 8 tahun 2020, tetapi akan menjadi kendala.
Pertama, semua sekolah berbeda jumlah muridnya. Kalau sedikit murid maka sedikit dapat BOS-nya. “Dan yang lebih parah lagi, di situ seolah ada dikotomi yang dapat punya NUPTK dan dapodik. Belum semua guru honorer punya NUPTK karena sulit sekarang mah, di atas lima ribu lebih guru honorer belum punya NUPTK,” katanya.
Menurut Mahdar, tidak hanya itu, guru honorer yang sudah tersertifikasi pun akan sama kehilangan gaji dari dana BOS, jika merujuk regulasi yang baru berlaku saat ini. Masalah lainnya, para guru honorer (non PNS) di Garut tidak memiliki surat keputusan (SK) Bupati sebagai syarat untuk mendapatkan sertifikasi.
“Kalau konsep pemerintah pusat harus ada SK Bupati sebagai syarat diakuinya sebagai honorer dan bisa mendapat NUPTK,” ucapnya.
Menurut Mahdar, kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah seolah kurang sinkron. Pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan yang berpotensi kurang menguntungkan guru honorer yang tidak punya NUPTK maupun yang sudah tersertifikasi, sedangkan Pemda seolah bingung mau menyikapi seperti regulasi
dan kondisi saat ini.
“Jadi tidak sinkron, Pemda seperti bingung mau menyikapi dengan mengambil kebijakan seperti apa. Contoh ril Garut mau mengambil sikap tentang PPPK, kan asalnya mau dari pusat tapi tiba-tiba dialihkan ke daerah. Pemda mau menyiapkan, yang dinyatakan lulus 1.025 seleksi yang mau diangkat 225 dulu. Sampai saat ini Pak bupati belum ambil sikap karena regulasi belum jelas. Sekarang BOS, Permendikbud 8 tahun 2020 tentang Juknis BOS lebih parah lagi,” ujarnya.
Terkait memberikan kemudahan dalam mengeluarkan NUPTK terhadap guru honorer, pihaknya sudah beberapa kali berkomunikasi dengan Bupati, namun sampai saat ini belum ada SK, ada SP hal itu tidak bisa menjadi syarat dapat gaji dari BOS.
“Maaf-maaf kami memberikan masukan kepada Pak Bupati jangan takut guru akan menuntut apa-apa. Yang penting nanti memutuskan menimbang ada catatan bahwa guru tersebut tidak akan menuntut, tapi entah kenapa Pak Bupati belum siap memberikan SK Bupati. Yeuh ari kudu dicaritakeun mah pengajuan ke Bupati itu sejak jaman Pak Agus Supriadi, Pak Memo, Pak Aceng Fikri, sudah mengusulkan berapa kali,
begitu pun ke Pak Rudy Gunawan,” ujar Mahdar Suhendar. (Dindin Herdiana)***