NASIB guru honorer, dari tahun ke tahun tidak ada perubahan yang sangat signifikan, baik secara kesejahteraan maupun status sosial. Sungguh miris, memperhatikan fenomena nasib guru honorer saat ini, seperti Guru Honorer yang sudah lulus seleksi P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) belum jelas nasibnya, karena status tidak jelas dan gajinya belum cair (Kabar Priangan, Rabu 29 April 2020).
Kemudian, hasil survei Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (Himpaudi) Wilayah Jawa Barat, yang menyatakan 37% Lembaga PAUD tidak mampu Bayar Upah Guru akibat Pandemi Covid 19 (Kabar Priangan, Rabu 6 Mei 2020).
Semua itu, hanya sebagian kecil dari permasalahan seputar guru honorer. Banyak pihak memandang sebelah mata akan keberadaan guru honorer, padahal dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) sebagai guru dan pendidik, mereka sama kedudukannya dengan guru PNS.
Bahkan, secara kualitas berani bertaruh. Mengapa? Karena mereka setiap saat dipicu oleh motivasi untuk selalu menjadi yang terbaik. Masa depan mereka ditentukan oleh kualitas profesional dan kerjanya yang baik. Jika itu tidak dilakukan maka tidak menutup kemungkinan lapangan pengangguran menjadi penantian akhirnya.
Bagaimana dengan motivasi ekonomi? Guru honorer itu juga manusia, maka tidak naif mereka menginginkan kehidupan yang mapan dengan penghasilan yang layak. Akan tetapi motivasi ekonomi bukanlah pendorong mereka hadir untuk mencerdaskan anak bangsa.
Mari renungkan bersama pertanyaan ini: Siapakah yang mau menjadi guru dengan penghasilan Rp 100 hingga Rp 300 ribu per bulan dalam situasi saat ini? Dengan tuntutan kerja yang sama dengan guru tetap/PNS dan bayang-bayang “pemecatan” apabila kritis dalam mengapresiasi kebijakan atas nasib mereka. Banyak pihak yang tidak tahu atau tidak faham, atau mungkin bebal, bahwa gaji/penghasilan guru honorer dihitung berdasarkan jam kerja seminggu, namun mereka tetap bekerja sebulan.
Misalnya, dalam seminggu seorang guru honorer mengajar 10 jam dengan honor per jam pelajarannya Rp. 20.000, maka ia dapat honornya 10 x Rp. 20.000 = Rp. 200.000 se-bulan. Tidak dikali 4 minggu, itulah riwayat kelam seorang guru honorer.
Ulasan penulis di atas, boleh jadi terkesan emosional dan tendensius. Namun, dari pengalaman penulis, 13 tahun (1993-2005) sebagai guru honorer, nasib mereka sampai saat ini tidak ada perubahan. Kehadiran mereka dinantikan, tapi status dan kesejahteraan mereka diabaikan.
Ini barangkali, sebuah sikap simpati dan empati penulis atas riwayat guru honorer kini. Jika boleh memberikan usul, Pemerintah Daerah harus berani menjadikan mereka tenaga honorer daerah, tanpa melihat berapa usianya. Berikan penghasilan standar daerah dari alokasi dana PAD (Penghasilan Asli Daerah).***
Penulis: Guru Sejarah/IPS SMP Negeri 1 Kota Tasikmalaya