TASIKMALAYA, (KP-ONLINE).- Pondok Pesantren Suryalaya dan warga terdampak banjir di Desa Tanjungkerta, Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya berencana menggugat secara pidana dan perdata terhadap pengembang perumahan dan pemerintah daerah.
Pasalnya, banjir yang terjadi Minggu (23/2/2020) pagi disebabkan adanya perbuatan oleh pihak pengembang perumahan dan kelalaian pemerintah daerah.
“Kita sudah menyiapkan gugatan melalui bagian Advokasi Ponpes Suryalaya. Gugatan ditujukan kepada pihak pengembang perumahan dan pemerintah daerah,” kata salah seorang pengurus Ponpes Suryalaya, Riad Jamil kepada wartawan, Selasa (25/2/2020).
Menurutnya, terkait gugatan tersebut semuanya akan diserahkan kepada Bidang Advokasi, Hukum dan HAM Pondok Pesantren Suryalaya yang diketuai oleh H. Mahpudin, SH. Nantinya, atas nama Ponpes Suryalaya dan warga dalam lingkungan sekitarnya terlebih dahulu akan melaporkan atau mengadukan ke Polres Tasikmalaya Kota atas terjadinya banjir dan kerusakan lingkungan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy. Dasar laporan yakni terjadi banjir yang disebabkan adanya kegiatan pembangunan oleh H. Enceng Soleh yang diduga merupakan tindak pidana dan atau pelanggaran.
“Banjir merendam pemukiman warga dan komplek Ponpes Suryalaya, sangat merugikan baik materil maupun materil,” ucapnya.
Dikatakan Riad, banjir yang terjadi bukan hanya disebabkan curah hujan tinggi, tetapi dugaan besar oleh dampak dari pembangunan proyek dan jembatan yang mengganggu aliran air serta merusak DAS Citanduy. Padahal kegiatan proyek tersebut, sebelumnya sudah diperingati dan disurati oleh Kementerian PUPR Dirjen SDA BBWS Citanduy agar dihentikan kegiatannya. Hal tersebut sesuai surat Nomor : SA0203-Ax/1590, perihal Perizinan Penggunaan Sumber Daya Air.
Dalam surat tersebut dengan tegas agar menghentikan pelaksanaan kegiatan pembangunan jembatan. Lokasi pembangunan jembatan pada ruang Sungai Citanduy yang sudah dilaksanakan harus dikembalikan seperti keadaan semula. Namun meski sudah diperingati dan agar dihentikan oleh BBWS Citanduy, ternyata pihak pengembang tidak mengindahkan dan kegiatan tetap berjalan.
“Surat peringatan dari BBWS Citanduy dilayangkan pada pertengan Desember 2019, tapi tidak diindahkan,” tuturnya.
Dengan demikian, sudah secara nyata telah terjadi peristiwa tindak pidana dan telah secara nyata pula menimbulkan korban banjir bagi masyarakat lingkungan yang terdampak dari adanya pembangunan tersebut.
Adapun gugatan kepada pemerintah, lanjut Riad, karena selama ini telah terjadi “pembiaran” oleh Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya melalui instansi dan aparat terkait atas pembangunan jembatan dan alih fungsi lahan pertanian tersebut. Padahal, kegiatan itu nyata-nyata telah melanggar hukum yang berakibat fatal bagi lingkungan dan masyarakat sekitar.
“Pembiaran dan ketidakhadiran negara pada peristiwa ini, ditunjukan dengan tidak menindaklanjuti saat ada keluhan masyarakat dan surat dari BBWS. Untuk itu kami melaporkan ke penegak hukum,” jelasnya.
Dijelaskan dia, nantinya biarkan penegak hukum dan tim advokasi yang memproses baik secara hukum baik pidana dan perdata. Namun pihaknya akan menuntut juga agar mengganti kerugian atas banjir yang jumlah dan bentuk serta mekanismenya dikoordinasikan dengan pemerintah desa dan kecamatan. (Ema Rohima)***
setuju masyarakat menggugat, jangan seenaknya saja para pengusaha menggunakan lahan yang sebetulnya masih produktif untuk dipake lahan pertanian, ini malah dipake perumahan dan kandang2 peternakan di puncak2 bukit yg menimbulkan longsor tidak ada resapan air..Pemda harusnya sudah punya Rencana tata ruang di desa2 itu seperti apa jangan liar tidak ada aturan
Akang ku duit naon sih nu teu tyasa ………itulah +62